Friday, April 17, 2015

Kota Sungai

Sungai di Belakang Ruko Glodok

Jakarta mungkin satu-satunya kota di Indonesia yang mempunyai paling banyak sungai, yang membelah-belah wilayahnya  dari selatan ke utara sebanyak 7 sungai. Di arah barat terbentang Kali Angke, Kali Krukut, Kali Grogol. Di tengah-tengah kota mengalir Kali Ciliwung. Di bagian timur kita menemukan Kali Gunungsahari dan Kali Sunter. Ada lagi Kali Besar yang menampung air Kali Krukut di ujung barat Jalan Pancoran (Medan Glodok) selewat jembatan Toko Tiga, Jakarta Kota dan membawanya terus mengalir ke arah barat, untuk akhirnya membelok ke utara.
 
Belum lagi anak sungai, terusan atau parit lebar yang menghubungkan aliran sungai yang satu dengan yang lain. Orang awam bisa pusing kalau mau menghitung atau menelusurinya satu demi satu.
 
Tempo doeloe jumlah itu - lebih banyak lagi. Khususnya di bagian utara kota, yang oleh orang Belanda dinamakan beneden-stad atau kota bawah, yakni daerah Mangga Besar ke arah utara. Kali Ciliwung yang mengalir lurus bagaikan garis mistar, membelok ke timur setibanya di seberang Jalan Labu di Hayam Wuruk dan menumpahkan airnya ke Kali Tangki di sisi jalan tersebut. Aliran Ciliwung itu pun masih terus lagi ke utara, menyusuri sisi timur Glodok dan baru membelok ke timur setelah melewati gedung bioskop Pelangi, yang kemudian menjadi gedung pertokoan Harco. Sebagian lagi menumpahkan air ke Kali Besar yang pada masa itu membentang dari timur ke barat, menyusuri Jalan Pancoran (di seberang Glodok Building sekarang) sampai melewati jembatan Toko Tiga yang disebutkan di atas. Bagian Kali Besar yang menyusuri Jalan Pancoran kini sudah tidak ada lagi, mungkin telah menjadi riol tertutup.
 
Sampai akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20, tepat di tengah-tengah Jalan Kongsi Besar sepanjang jalur jalan yang kini menjadi lokasi kios-kios, pun dialiri sebuah sungai. Di masa remaja saya, kali di Kongsi Besar itu sudah tidak ada. Hanya tinggal palang-palang pipa besi bergaris tengah kurang lebih 10 sentimeter, yang dulunya memagari kedua sisi sungai. Sungainya sendiri sudah menjadi lapangan tempat bermain anak-anak, terutama di sore hari. Pada tahun 1944-1945 (zaman Jepang) palang-palang itu dibongkar Jepang bersama dengan palang-palang serupa yang memagari seluruh tepi Kali Ciliwung. Konon semua palang itu diangkut ke Jepang, karena industri perang Jepang pada masa itu kekurangan bahan baku besi.

No comments:

Post a Comment