Kereta Landaulet
Naik mobil sepanjang jalan Betawi yang pada waktu itu belum diaspal dan masih geronjalan, tentu sangat nyaman kalau dinilai berdasarkan ukuran kenyamanan zaman tersebut. Tetapi aneh-nya, para pembesar Belanda yang pada umumnya berduit, banyak yang lebih senang menggunakan kereta. Kereta landaulet yang meluncur di atas roda-roda dengan ban karet padat, atau malah kereta pelangki dengan ban besi yang berisik sewaktu dilarikan dan mengocok-ngocok perut para penumpangnya. Para direktur perusahaan besar Belanda pun menggunakan kereta.
Selama dasa warsa kedua abad ke-XX sampai menjelang akhir Perang Dunia I (1914-1919) jumlah mobil di Indonesia, khususnya Betawi boleh dikata masih dapat dihitung dengan jari. Kalau mau agak lebih tepat, kata-kanlah dengan jari tangan dan kaki. Padahal waktu itu pun Betawi sudah merupakan pusat pemerintahan dan perdagangan.
Kenapa para pembesar itu lebih menyenangi kereta daripada mobil? Kita hanya dapat menduga-duga saja. Mungkin harga mobil jauh lebih mahal daripada kereta. Demikian pula biaya pemeliharaannya yang meliputi bensin, minyak pelumas, gaji sopir serta kenek dan sebagamya. Mungkin pula orang agak ngeri dengan kecepatannya yang tinggi, meski lalu lintas waktu itu masih sepi.
Maka lebih enak naik kereta saja, meski kereta pelangki gerodakan larinya. Alon-alon asal kelakon. Di zaman itu, gerak kehidupan memang jauh lebih lamban daripada sekarang, di mana segala-galanya harus serba cepat. Mungkin ada pula faktor lain yang berperan. Naik kereta, apalagi landaulet yang mewah, lebih gengsi. Lambat-lambat dan anggun. Tidak terburu-buru seperti-dikejar hantu. Benarkah demikian?
No comments:
Post a Comment